Keberanian Gontor Bermimpi

Bermimpi bukanlah suatu ritual maha sakral yang hanya perlu dilakukan oleh individu. Kelompok kerja, organisasi, bahkan sesederhana lingkaran pertemanan pun perlu berani bermimpi. Tanpa mimpi-mimpi itu, hidup berjalan tanpa tujuan. Dan sebagaimana manusia sering katakan, hidup tanpa harap dan tujuan yang tidak melahirkan resiko-resiko adalah suatu hidup yang tidak dihidupi, alias an unlived life.

Sebagai suatu institusi yang telah tumbuh dan berkembang, serta masih terus dapat mempertahankan eksistensinya dalam dunia pendidikan di Indonesia bahkan dunia, Gontor adalah suatu teladan yang mengajarkan keberanian memiliki dan merealisasikan mimpi.

 Keberanian untuk bermimpi itu diwariskan secara turun-temurun lintas generasi. Dari Kyai kepada para guru, dari guru-guru kepada para santri, begitu seterusnya. Dan pada akhirnya, keberanian bermimpi serta merealisasikannya itu menjadi suatu watak dan ciri khas yang dimiliki oleh para orang yang pernah hidup dalam ritme dinamika Gontor. Dibawa sebagai suatu semangat yang terus membara, dan membuat alumnus Gontor sering kali berbeda dari orang-orang lain dalam lingkaran pergaulannya.

Saya yang pada suatu Jum’at di awal 2019 lalu berkesempatan untuk sowan ke Gontor, benar-benar telah menjadi saksi hidup bahwa lagi-lagi, salah satu mimpi besar Gontor terealisasikan. Mimpi yang telah menjadi nyata itu nampak secara fisik sebagai sebuah bangunan menara yang gagah nan perkasa, menjulang ke langit setinggi lebih dari 85 meter dari permukaan tanah. Dengan 15 lantai ditambah kubah setinggi 12 meter, menara ini menjadi bangunan yang tingginya tidak terkalahkan se karesidenan Ponorogo – Madiun.

Menara tersebut dilengkapi dengan sebuah studio editing milik Gontor TV di lantai dua, studio siaran dan studio rekaman milik Suara Gontor FM di lantai tiga, serta dua gardu pandang, masing-masing berada di lantai 10 dan 15. Dari gardu pandang tersebut, tampak kota Ponorogo membentang di semua penjuru arah dengan barisan bukit yang mengelilinginya.

Interior masing-masing ruangan didesain dengan konsep minimalis yang modern, menggambarkan kesan mewah, namun tidak lepas dari nilai-nilai kesederhanaan. Tiap sudutnya tampak indah dipandang. Dari puncak menara itu, ada empat buah jam raksasa yang menghadap ke empat arah mata angin. Dari puncak itu pula, adzan dilantunkan oleh santri yang bertugas tiap datang waktu shalat yang lima. Kecuali itu, ada bebunyian tertentu yang menandakan pergantian jam.

Dalam berbagai kesempatan, di depan dewan guru dan para santri, Kyai Hasan kerap menyampaikan bahwa kegagahan menara itu bukanlah untuk menyombongkan diri. Bukan pula suatu usaha untuk membuat orang-orang silau menatap Gontor. Melainkan sesederhana untuk membesarkan hati para santri, agar mereka bangga dengan jati dirinya. Sekaligus membuktikan bahwa santri dan pesantren tidak identik dengan lingkungan kotor nan nir estetika.

Bagi saya sendiri  menara yang berdiri di sebelah timur laut Masjid Jami’ Gontor itu, di atas tempat menara yang lama berdiri, selain merupakan sebuah bangunan yang membesarkan hati santri, juga adalah sebuah monumen yang menandai keberhasilan Gontor menjaga semangat untuk berani bermimpi sekaligus berani bersabar menjalani proses panjang yang terjal dalam merealisasikannya.

Masih jelas dalam ingatan saya ketika stadion sepak bola dan menara belum benar-benar dibangun, masih berupa impian-impian Pondok yang disampaikan oleh Kyai di hadapan para santri. Melalui sebuah retorika yang jenaka, Kyai Hasan kerap melontarkan humor akan membangun stadion yang rumputnya tidak kalah dengan rumput camp nou, canda tersebut disambut dengan gelak tawa oleh guru-guru dan para santri.

Dalam beberapa kesempatan pula, dengan intonasi dan mimik yang serius, Kyai Hasan berujar di hadapan para santri, “Insya Allah! Dengan izin Allah, kalau saya masih diberi umur untuk hidup, kita bangun menara yang baru!”.  Barangkali, saat itu saya merupakan salah satu santri yang merinding mendengar frasa ‘masih diberi umur’, namun kemudian justru kalimat itulah yang turut menunjukkan jiwa totalitas Gontor, membuktikan bahwa semangat bermimpi dan menjadikan mimpi-mimpi itu terealisasi memang dipraktekkan oleh Gontor dan semua elemennya, termasuk para Kyai, guru, serta ditanamkan kepada para santri-santri.

Di kemudian hari, baik mimpi yang diceritakan secara jenaka maupun serius itu benar-benar terwujud menjadi nyata. Dengan kemandirian ekonomi proteksi dan bantuan Allah, keyakinan Gontor bermimpi satu-persatu terasa dikabulkan.

Ternyata, budaya memiliki mimpi itu memang telah dipraktekkan sejak awal pondok berdiri, bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa Gontor menjadi besar pun juga bersama keyakinan akan mimpi-mimpinya. Ketika Trimurti masih memimpin, Pak Zar, panggilan untuk K.H. Imam Zarkasyi, memiliki ungkapan yang sangat diingat oleh santri-santri: “Gontor sekolahku, Saudi pelataranku, Eropa pelanconganku”. Kala itu, gedung yang dimiliki oleh Gontor adalah sebuah masjid kecil dan gedung kelas di sebelah baratnya. Sementara di sekeliling pondok adalah hamparan sawah yang luas. Di kemudian hari, di atas tempat Pak Zar mengucapkan mimpinya itu, berdirilah sebuah gedung asrama santri yang diberi nama gedung Saudi pula. Dan sampai saat ini para alumni Gontor, kecuali ke Eropa, juga telah menyebar ke 4 benua lainnya, membawa pesan dan nilai-nilai Gontori yang didakwahkan melalui teladan yang dipraktekkan oleh diri mereka sendiri terlebih dahulu.

Monumen-monumen lain yang menandai keberhasilah Gontor mewujudkan mimpinya adalah Masjid Jami’ dan Balai Pertemuan. Bangunan Balai Pertemuan yang berada di pusat keramaian Gontor dan belum diubah bentuk aslinya sampai saat ini itu, didesain untuk dapat menampung 2000 orang dalam satu ruangan. Padahal ketika dibangun, santri Gontor jumlahnya masih sekitar 500-an. Namun Gontor yakin bahwa kelak, bahkan Balai Pertemuan yang didesain untuk empat kali lipat jumlah santri saat itu pun tidak mampu menampung semua santri Gontor dalam satu pertemuan.

Begitu pula Masjid Jami’ yang dengan dua lantai didesain untuk dapat menampung 4000 santri. Padahal ketika dibangun pada tahun 70-an, santri Gontor masih sejumlah 1500-an orang. Namun sekali lagi, Gontor yakin bahwa desain tersebut terlalu kecil untuk menjadi tempat shalat berjamaah seluruh santri suatu hari nanti.

Dan kini, keyakinan yang terselip dalam bangunan-bangunan itu terwujud. Saat ini ada 20 cabang Gontor di seluruh Indonesia, dengan total jumlah santri aktif lebih dari 24.000 orang.

Mimpi-mimpi serta keyakinan yang menyertainya itu kian menjadi nyata. Dan tentu Gontor akan selalu memiliki mimpi, demi menjaga eksistensinya untuk terus memegang peran mendidik umat. Satu hal yang mungkin perlu kita ketahui adalah, bahwa mimpi-mimpi yang Gontor miliki bukanlah mimpi-mimpi yang egois, bukan pula mimpi yang hanya ingin membesarkan Gontor. Selalu ada kepentingan bersama, selalu ada maksud untuk kebaikan umat juga. Bahka ketika semakin kuat Gontor dan pengaruh pendidikannya, akan semakin banyak pula orang-orang yang memiliki jiwa keikhlasan diterjunkan ke masyarakat untuk menjadi seorang pendidik, pada peran apapun yang mereka mainkan. Dan itu juga bagian dari mimpi Gontor untuk mewujudkan ‘1000 Gontor’ di Indonesia.

Sebagai individu, kita juga perlu memiliki mimpi-mimpi yang diamini oleh banyak orang agar impian kita besar, dan agar kita dipertemukan dengan orang-orang yang mimpinya sama untuk berjuang bersama.

9 thoughts on “Keberanian Gontor Bermimpi”

  1. Barakkallah……….semoga semakin banyak karya tulis yang antum hidangkan untung para Alumni dan Masyarakat Luas.baik tingkat Nasional maupun Internasional Aamiin. dan selalu membawa Alamamater yang selalu kita banggakan ' SURVIVAL GENERARON 2017 'Tahammas Abadan…….

    Like

  2. Mantap Bang, salut untuk dedikasinya dalam berdakwah melalui tulisan 👍. Insya Allah, setiap goresan pena yg Anda ukir, bernilai pahala di hadapan-Nya. Aamiin 🙏

    Like

Leave a comment