Pada setiap fase pertumbuhan mental atau fisik, ada satu pertanyaan besar yang mendefinisikan keresahan terpenting kita pada fase tersebut. Seiring dengan kita yang makin tumbuh, physically and mentally, pertanyaan itu satu-persatu mulai terjawab, untuk kemudian dengan tahu yang baru, muncul pertanyaan lain pada saat kita naik ke fase pertumbuhan lainnya.
Siklus tersebut akan terus berulang. Banyaknya pertanyaan yang terselesaikan akan selalu berbanding lurus dengan tanya-tanya baru yang bermunculan. Semakin banyak pertanyaan yang kita arsipkan dengan label ‘terpecahkan’, maka kita semakin matang.
Salah satu pertanyaan yang pernah menjadi penasaran besar saya adalah: “Bagaimana bisa seorang manusia membenci, atau sebaliknya: menyukai (untuk tidak menyebut mencintai) orang lain yang bahkan, belum pernah ditemuinya secara fisik?”
Bagi si Pecinta, manusia yang ia kasihi tidak memiliki kebenaran objektif. Ia sebagai tokoh dalam kisah asmara si Pecinta hanya terwujud dalam bentuk bayang-bayang berbahan prasangka dan asumsi yang dibangun dalam kepalanya sendiri.
Lalu, si Pecinta ini dalam satu waktu akan menjadi musuh sekaligus sekutu bagi pikirannya sendiri. Ia akan bahagia dengan kisah-kisah dan banyak harap rekaannya yang tidak pernah terjadi di dunia nyata. Sementara di ruang lain, pikirannya membayangkan berbagai peristiwa sedih, harap yang kandas, kasih yang tak sampai, rasa yang tak terucap, cinta yang tak berbalas, yang semuanya juga sebenarnya belum terjadi.
Energi orang-orang yang demikian akan habis, untukmengurusi hal-hal yang tidak pernah menjadi realita sungguhan di depan matanya, pikir saya kala itu. Lalu hingga suatu ketika, saya membaca pemikiran serta analisa Prof. Yuval Noah Harari dalam Sapiens dan Homo Deus-nya.
Mencintai orang yang tidak pernah hadir di samping kita secara fisik itu masih akan terus menjadi suatu hal yang mungkin dilakukan dan masuk akal selama manusia juga masih mempercayai uang sebagai alat tukar, demokrasi sebagai sistem yang mendistribusikan kebebasan secara merata kepada seluruh manusia, dan negara sebagai entitas pemersatu orang di suatu wilayah untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Hal-hal di atas juga tidak memiliki kebenaran objektif. Mereka menjadi ada karena di atas bumi, milyaran manusia mempercayai dan setuju atas keberadaannya secara bersamaan. Kemampuan manusia untuk memikirkan dan membicarakan hal-hal yang tidak terwujud secara fisik itulah yang kemudian membuat kita dapat bekerja sama secara efektif. Lalu dengan rentang waktu yang amat singkat, kita bisa mengungguli semua makhluk hidup lain di bumi yang tidak memiliki kemampuan serupa.
Kemampuan tersebut juga memungkinkan kita mencitai entitas lain, yang meski wujudnya sebagai manusia memang ada, tetapi tidak pernah menjadi kebenaran objektif di depan mata kita. Seorang ibu yang meninggal saat melahirkan tetap bisa menerima rasa sayang dan doa penuh cinta dari anak tersebut yang bahkan tidak pernah melihatnya. Anak itu, membangun bayangan sosok ibu di dalam kepalanya melalui cerita-cerita yang sarat dengan sensasi emosional dari kerabat dan anggota keluarga yang lain.
Nah, sensasi-sensasi emosional serupa lah yang membuat kita akhirnya juga bisa mencinta tanpa keberadaan fisik.
Dengan teknologi komunikasi yang kian hari makin canggih, pertukaran sensasi emosional juga semakin mudah. Pada zaman dulu, orang yang menjalani long distance relationship harus berkirim surat, menghadapi kemungkinan suratnya tidak pernah sampai ke alamat yang dituju, dan menunggu dengan sabar selama belasan bulan untuk menerima balasan. Meski intensitasnya rendah, namun rasa yang dipupuk dengan harap, ragu, dan penantian itu sepadan dengan sensasi emosional yang besar pula saat surat balasan akhirnya kembali ke tangan si Pecinta.
Hari ini, sensasi emosional datang dalam paket-paket yang lebih kecil: chat whatsapp yang cepat dan bahkan bisa menghubungkan dua zona waktu pada satu waktu yang sama, instastories, suara di ujung telepon, foto serta video yang saling dikirim melalui bilangan-bilangan binary, dan lainnya.
Seberapa kecil paketnya, melalui apa pun mediumnya, sensasi emosional tetaplah sensasi emosional. Di hati dan kepala kita, sensasi-sensasi tersebut mampu membangun cerita, membentuk karakter seorang tokoh, dan memberi rasa sedih patah hati sekaligus letupan bahagia tanpa harus ada suatu wujud fisik.
..
Harus diakui bahwa saat ini, saya sedang patah hati.
Mengakui keberadaan masalah dan tidak lari darinya selalu menjadi langkah pertama saya untuk pulih. Dan bodohnya, saya patah hati karena hal yang tidak pernah menjadi kebenaran objektif di depan mata saya. Pernah sih, secara tidak sengaja, selama kurang dari 2 menit, dan sampai hari ini saya masih yakin bahwa ketidaksengajaan itu adalah sebuah sinyal dari Tuhan untuk bertahan.
Ternyata tafsir yang ngawur atas ayat-ayat Tuhan memang bahaya ya. Hahaha.
Sebelum mengurai patah hati untuk mengobatinya pada halaman ini, saya mengunjungi blog yang diam-diam sering saya buka untuk mengecek apakah ada postingan baru. Saya baca lagi tulisan-tulisannya. Saya merasa bahagia. Saya menyadari bahwa meski fiksi yang saya kagumi itu tidak memiliki kebenaran objektif di mata saya, saya merasa seperti mengenalnya dengan baik melalui tulisan-tulisan itu. Topik-topik keresahan yang ia angkat, caranya merangkai kata, pilihan diksinya, preferensi penggunaan bold, italic, atau kombinasi keduanya, serta analogi dan perumpamaan yang ia tuliskan benar-benar mengagumkan. Bagi saya, hal-hal tersebut tidak bisa menjadi ada hanya karena hal-hal tersebut memang ada. Mereka pastilah merupakan refleksi dari karakter penulisnya. Karakter yang sama, saya bangun dalam kepala.
Akhirnya, saya bisa menerima bahwa saya tetap bisa mengagumi fiksi itu dengan cara yang lain. Saya tidak mau lagi mencintai kepemilikan, saya ingin mencintai keberadaan sosoknya di dunia yang membuat langit menuju malam dan di ujung pagi memiliki warna-warna indah. Saya ingin mencintai Tuhan penciptanya.
Itu saja sudah cukup. Melegakan, dan membahagiakan.
..
Akhirnya, dengan konsep legal fiction yang saya sedikit paparkan di atas, harus disampaikan bahwa, “When you don’t want to be with someone anymore, tell it. Don’t show it.”
Kata-kata kita yang tegas, yang dengan jelas mampu memberi batas suatu hal dengan hal yang lainnya, akan sangat membantu orang lain untuk tidak salah membangun karakter dan cerita di kepalanya. Jika kita alergi dengan kata-kata, lalu berusaha menunjukkan keengganan kita bersama seseorang lagi dengan perubahan sikap, itu hanya akan mengiris-iris perasaan dan pikiran mereka.
Sakit hati itu tidak mengenal usia. Sebagaimana bahagia, sedih, marah, dan duka, sakit hati juga hanyalah bagian dari perasaan yang memang disertakan dalam paket penciptaan diri kita. Anak-anak muda yang tengah menuju dewasa juga boleh sakit hati. Mereka, tidak lantas menjadi anak kecil jika menangis dan bersedih karena patahnya bagian penting dari dirinya itu.
Yang membedakan hanyalah responnya. Respon amatir dan yang sudah mengalami banyak patah hati tentu berbeda, haha. Tapi bagaimanapun, tidak bisa disalahkan.
Respon paling waras yang saya lakukan pada saat ini adalah, membeli buku Guru Aini dari Andrea Hirata yang memang sudah direncanakan untuk dibeli, tapi masih menunggu momen yang tepat. Saat ini, ketika saya sedang butuh pelarian menuju dunia yang lain, adalah momen itu. Fiksi Andrea Hirata akan mengobati perasaan saya, dan membuat saya jatuh cinta lagi.
As Ever, Ulil Albab Surya Negara,
yang terkarantina namun terbebaskan.
25 April 2020.